Retak

Je 🌱
7 min readJan 2, 2022

--

yang retak tidak akan pernah kembali

Seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya, Btari Maudya Brigita Linangkung―atau biasanya dipanggil Maudy atau Gita itu akhinya menepati janji untuk menghadiri pernikahan anak dari dosennya semasa masih duduk di bangku perkuliahan. Pernikahan putra Prof. Dirga Danadyaksa.

Maudy berdiri dengan canggung di sudut ballroom hotel tempat pelaksanaan janji suci pernikahan itu. Kalau boleh jujur, Maudy merasa tidak nyaman dengan situasinya sekarang. Dengan penampilan yang bukan dirinya, ia berhasil menjadi pusat perhatian beberapa orang yang kebetulan berpapasan dengannya.

“Lo kenapa dah, Dy? Gue lihat-lihat lo dari tadi mingkem mulu. Sakit tenggorokan apa gimana?” tanya Mahes yang berada disebelahnya.

“Aku ngerasa gak nyaman, Hes.” jawab Maudy.

“Kenapa?”

“Sedari tadi orang-orang ngeliatin aku. Aku risih,” tutur Maudy.

“Lho kok gitu? Padahal mereka ngeliatin lo daritadi ya karena lo cantik banget kali, Maudy,” kata Mahes, “Mereka keliatan pengen deketin lo, tapi enggan. Kayaknya mereka ngira lo pasangan gue deh.”

“Mana mungkin,” Maudy mengelak.

“Beneran, Maudya. Lo tuh cantik banget hari ini. Gue aja terpesona banget, sayang aja gue gak bisa milikin lo. Soalnya takut persahabatan kita runtuh,” ujar Mahes.

Maudy tersenyum kecil. Maheswara selalu saja berhasil membuat perasaannya kembali membaik.

“Btw, lama juga ya Diana ngangkat telepon manajernya. Udah kayak pidato kepala sekolah tiap kali upacara bendera aja yang lama banget.” Maudy mengangguk setuju dengan ucapan Mahes.

Kalau dipikir-pikir, Diana sudah menghabiskan waktu setengah jam untuk sekedar mengangkat telepon dari Manajernya. Maudy tidak menyangka, pekerjaan sebagai model sekaligus influencer akan sesibuk itu.

Sekembalinya, raut wajah Diana nampak masam. Bibir yang mencebik beberapa kali membuat Maudy dan Mahes kebingungan.

“Lo kenapa? Dateng-dateng muka udah ketekuk aja,” tanya Mahes.

“Ya, gue kesel banget sumpah sama Manajer gue. Dia maksa gue buat cepet nyamper ke lokasi pemotretan, padahal gue kan udah izin buat ambil cuti sehari.” keluh Diana.

“Ribet betul model satu ini. Cuti sehari aja udah di bombardir sama bom telepon. Apa kabar kalo lo bikin ulah ya? Kesurupan kali manajer lo, Na?!” kata Mahes.

Diana mengangguk-anggukan kepalanya membenarkan.

“Terus gimana? mau balik sekarang?” tawar Maudy.

“Ya jangan dulu. Gak enak sama Prof. Dirga kalo tiba-tiba kita pulang begitu aja sebelum acaranya yang bahkan belum dimulai,” tolak Diana.

“Gimana dengan pemotretan kamu?”

Diana mengendikan bahunya, “Bodo amatlah. Siapa suruh tetap keukeh sama kehendak mereka padahal gue gak bersedia.”

Maudy hanya mengangguk kecil. Diana tetap keras dengan pendiriannya untuk tetap hadir sampai acara pernikahan selesai. Katanya tidak enak jika mereka pulang cepat, sebab Prof. Dirga sudah sangat berjasa dalam kehidupan mahasiswa mereka.

Disela obrolan pribadi ketiganya, Prof. Dirga dari arah belakang menghampiri ketiganya.

“Maudy,” sapa Prof. Dirga.

Maudy yang digumamkan namanya menoleh ke arah suara. Pria paruh baya dengan setelan jas hitam putih itu nampak gagah.

“Prof. Dirga,” Maudy menganggukan kepalanya tanda hormat.

“Gak usah terlalu formal begitu. Lagipula saya sudah pensiun jadi dosen. Jangan terlalu kaku begitu sama saya,” ujar Prof. Dirga.

“Mahes. Diana. Kalian juga datang,” Mahes dan Diana kompak menganggukan kepalanya.

“Iya, Prof. Soalnya gak enak kalo gak dateng ke nikahan anak orang telah berjasa dalam hidup kami,” kata Diana.

Prof. Dirga tertawa kecil, “Masih inget jasa saya rupanya. Kirain kamu bakal mengubur masa kelam kalian sewaktu konsultasi skripsi kalian sama saya. Yang kata kalian udah kayak naik roller coaster.”

“Inget dong, Prof. Berkat anda, Saya bisa lulus meski sempat jadi mahasiswa abadi sementara. haha,” balas Mahes.

“Tapi saya bangga lho sama kamu, Mahes. Meski dulu sempat dapat gelar mahasiswa abadi, pada akhirnya kamu sudah sukses meski bukan di dunia psikologi.” kata Prof. Dirga sembari menepuk bahu Mahes.

“Saya tersanjung bisa dipuji sama Dosen killer kayak Prof. Dirga. Feeling pujiannya tuh jadi beda,” ucap Mahes berhasil kembali membuat Prof. Dirga tergelak tawa.

“Btw, Saya juga kagum sama kamu Diana. Akhirnya cita-cita kamu buat jadi model kenamaan sudah tercapai,” puji Prof. Dirga membuat Diana tersenyum senang.

“Kesuksesan saya juga berkat petuah Prof. Dirga sama saya. Berkat Prof. Dirga, saya bisa membangun kepercayaan diri saya untuk terus maju meski beberapa kali gagal buat jadi model,” balas Diana.

“Bagus itu. Suka saya sama kamu yang menganggap bahwa omelan saya bisa membantu kamu untuk termotivasi.”

Diana tersenyum.

“Tapi, saya lebih bangga lagi sama Maudy karena berhasil meneruskan perjuangan saya untuk jadi Dosen di Nusantara Culture and Technology.” kata Prof. Dirga dibalasi senyum oleh Maudy.

“Saya bisa menjadi sekarang juga berkat Prof. Dirga. Dengan bimbingan Prof. Dirga saya bisa mendalami dunia psikologi ini,” balas Maudy.

Prof. Dirga tersenyum seraya menganggukan kepalanya kecil, “Saya melakukan itu juga karena melihat bagaimana uletnya kamu dan ketertarikan kamu di dunia psikologi.”

“Semakin mengenal kamu. Saya sangat suka dengan kepribadian kamu. Coba saja waktu itu kamu mau saya kenalkan dengan anak saya, mungkin kamu udah saya jadikan mantu idaman.” tambah Prof. Dirga sontak membuat Mahes dan Diana mengulum senyum. Sedangkan Maudy hanya tersenyum canggung.

“Sayangnya susah banget, Prof. Saya aja udah beberapa kali ngaturin kencan buta buat Maudy, tapi dia selalu mangkir. Heran saya,” celetuk Mahes.

“Kenapa mangkir?” tanya Prof. Dirga mendadak membuat Maudy kebingungan hendak memberi jawaban.

“Alasannya sibuk, Prof. Gak ada waktu,” sahut Diana.

Maudy memberengut. Teman-temannya nampak kompak menggodanya dihadapan Prof. Dirga yang sangat dihormatinya layak seorang ayah.

“Sesekali kamu cobalah, Maudy. Berkenalan tidak ada salahnya. Ya pertama jadikan dulu teman, kalau kamu ngerasa sudah klik dan klop sama dia baru kamu pikirin jenjang serius.” pesan Prof. Dirga hanya bisa diangguki oleh Maudy.

Maudy sudah menduga bahwa ia pasti akan mendapatkan petuah dari beliau. Maudy harus berterima kasih dengan kedua temannya itu karena berhasil membuat Maudy jadi malu setengah mati.

“Saya usahakan, Prof.” kata Maudy.

Prof. Dirga menggelengkan kepalanya tidak kuasa, “Jangan cuma diusahakan. Tapi dilaksanakan juga,”

“Iya, Prof. Dirga. Akan saya coba,” mendapat jawaban yang diinginkan, Prof. Dirga pun tersenyum puas.

“Bagus itu,” ucap Prof. Dirga.

Kemudian, disela obrolan keempatnya seseorang lelaki menghampiri mereka lalu memepet Prof. Dirga dan nampak membisikan sesuatu.

“Iya. Iya. Bapak kesana,” jawab Prof. Dirga pada lelaki itu.

Maudy, Mahes dan Diana nampak memperhatikan interaksi adam beda generasi itu.

“Oh iya, sebelum bapak kembali. Kenalin dulu, ini mahasiswa bapak. Trio paling terkenal diangkatan,” kata Prof. Dirga, “Ini ada Maheswara, Maudya, Diana.”

Prof. Dirga memperkenalkan ketiganya secara satu persatu pada lelaki yang nampak berusia pertengahan tiga puluhan itu. Lelaki itu tersenyum pada ketiganya, kemudian fokus memandang Maudy diakhirnya.

“Oh, jadi ini toh mahasiswi yang sering banget bapak bangga-banggain di rumah. Yang katanya sempurna banget,” ujar Lelaki itu pada Maudy, “Kenalin, Saya anak sulung Bapak Dirga, Dikta.”

Lelaki itu mengulurkan tangannya pada Maudy yang kemudian dibalas Maudy dengan jabatan tangan.

“Dikta? Mas Dikta yang dulu sempat bikin heboh di kelas karena mampir ke kelas mengajarnya Prof. Dirga dulu itu?” tanya Diana.

Dikta mengangguk, “Masih inget ternyata. Saya senang lho bisa dikenalin sama model se cantik dan se terkenal Mbak Diana.”

“Ah, biasa aja Mas.” Diana malu-malu.

“Diana. Kamu jangan mau kemakan rayuannya Dikta. Mulutnya emang licin banget buat ngegombal padahal udah punya anak dua tapi masih aja suka ngebuaya,” tutur Prof. Dirga sontak membuat keempatnya tergelak tawa.

Sedangkan Dikta nampak memberengut disana, “Ah, Bapak. Masa anaknya malah dikatain begitu dihadapan mereka. Jadi gak punya muka Dikta.”

“Bapak bicara fakta, Dikta. Tidak ada kebohongan di dalamnya.”

Dikta merajuk, “Udahlah. Dikta marah sama Bapak. Pamit balik ajalah.”

“Ya, Silahkan.”

“Gak ada niat buat nahan gitu?”

Prof. Dirga menggeleng membuat Dikta semakin merajuk. Sedangkan ketiga sekawan itu kompak mengulum tawa ketika melihat drama anak dan ayah itu.

“Udah ah. Bapak makin nyebelin. Yuk, kesana. Bentar lagi acara dimulai. Ngobrolnya ditahan dulu sampe kelar acara.”

Prof. Dirga mengangguk sembari berpamitan, “Pamit dulu. Di suruh nempatin kursi panas saya. Kalian makan-makan aja dulu, atau gak bisa langsung duduk di kursi penonton.”

“Iya, Prof.” jawab ketiganya. Usai berpamitan, Prof. Dirga pun meninggalkan ketiganya.

Maudy, Mahes dan Diana sudah menempati kursi yang telah disediakan untuk tamu undangan. Maudy yang kini sudah kembali menggunakan kembali kacamatanya itu, menatap dekorasi pernikahan yang begitu megah itu. Tampilan yang begitu apik dengan warna soft yang tidak bosan untuk dilihat, menambah kesan luar biasa.

Maudy juga menatap kepada pengantin pria yang sudah sangat siap di tempatnya, menunggu kehadiran mempelai wanitanya di depan altar pernikahan. Pria bernama Valjean itu nampak begitu gagah dengan setelan jas berwarna putih. Senyum juga tak luntur menghiasi paras tampannya. Ia begitu bahagia.

“Gila, acara nikahan aja bisa kemundur juga waktu akadnya.” ujar Mahes.

“Mempelai wanitanya lagi touch up make up kali. Makanya lama,” balas Diana.

“Tapi, gak sampe sejam juga kali. Apa gak capek mempelai prianya berdiri kayak kanebo kering di altar?” kata Mahes.

“Iya, juga sih.” Diana mengangguk heran.

Maudy juga sebenarnya agak heran. Kenapa persiapan mempelai wanitanya begitu lama. Bukankah sebelum acara dimulai, mempelai wanitanya sudah harus siap.

Kemudian, di keheningan ruangan. Pintu utama terbuka, menampilkan Dikta yang nampak tersengal napas.

“Jean!” seru Dikta sembari memasuki ruangan dengan sedikit berlari.

Dikta nampak berbicara dengan Jean beberapa saat sebelum akhirnya Jean jatuh terduduk di altar pernikahannya.

Para penonton dibuat kebingungan dengan situasi yang terjadi. Valjean nampak mendongo.

“Ada apaan ya? Kok komuknya aneh begitu?” gumam Mahes.

Di suasana yang mendadak riuh itu, terdengar gumaman yang sontak membuat ketiga sahabat itu terkejut bukan main.

“Gak disangka-sangka. Mempelai wanitanya kabur dengan selingkuhannya. Kasihan sekali keluarga Bapak Dirga khususnya Valjean. Dia pasti terpukul sekali”

Maudy, Mahes dan Diana saling berpandangan dengan tatapan tidak menyangka. Kejadian itu terlalu mengejutkan.

Maudy menatap Prof. Dirga yang nampak terduduk dengan tangan yang memijit kepala. Lalu, Valjean yang nampak termangu di tempatnya.

Pernikahan yang sudah direncakan dengan sebaik-baiknya telah retak dan hancur dengan kepergian mempelai wanita yang lebih memilih pria lain daripada Valjean.

Maudy memandang sedih pada Prof. Dirga. Ia turut sedih dengan kejadian itu. Ia pernah merasakan hal yang sama sehingga ia tahu dengan detil bagaimana hancurnya rasa ketika semuanya retak tak bersisa.

Bersambung

--

--

Je 🌱
Je 🌱

Written by Je 🌱

0 Followers

Keep watering yourself, You are growing 🌱. Find me on twitter: @banilaje, Instargram & wattpad: @imyourforia :)